Entri Populer
-
Dangdut Koplo OM.SAGITA - OM.SAGITA Djandut assololey yang selalu membuat para pecinta dangdut koplo menunggu setiap lagu terbaru muncul...
-
Kampung Polandak gempar. Persis selepas Dhuhur, seorang pemuda dikabarkan terbenam sebatas leher di ...
-
Cerpen: Ahmad Muchlish AR TERSIAR kabar dari toekang tjerita tentang Malin Kundang yang dikutuk I...
-
Cerpen: Isbedy Stiawan ZS DI kompleks perumahan type 21 banyak hal bisa terjadi dan selalu berbau ...
-
Cerpen : Ni Komang Ariani Sungai Barito sore hari, saat lanting-lanting berserakan di sepanjang s...
Minggu, 08 Januari 2012
MALIN KUNDANG PULANG KAMPUNG
Cerpen: Ahmad Muchlish AR
TERSIAR kabar dari toekang tjerita tentang Malin Kundang yang dikutuk Ibunya jadi batu, mungkin ingatanmu akan menjalar ke masa lampau bila di antara kita ada yang enggan pulang. Ah, toekang tjerita sudah mati, tinggal aku yang diwarisi cerita dan aku akan mengisahkan kembali padamu, mungkin kau akan menuduh kisah ini adalah cerita yang sesat. Tapi simaklah baik-baik kalimat demi kalimat yang menyimpan matahari asing.
***
IA tertatih. Pincang. Dan di matanya, tumbuh gelombang. Bau cibitung melenggang setiap desir angin. Sore itu, ia menyusuri sepanjang pantai. Pasir putih di pesisir dihablur busa putih bersih. Ia meniti di atas batu-batu yang diukir air garam. Asin mata waktu. Ia melewati bongkahan kelapa yang lunglai dibelai angin dingin. Kadang bila capai, ia duduk di atas karang, menatap laut seberang sembari meniup saluang.
Senja di matanya cekung mirip laut. Lalu ia menangkap merah cahaya di langit seolah di jauh
"Malin, kau sakit?" tanya istrinya yang baru muncul dari balik pasir menggunung.
Menggeleng. Mulutnya bergeming. Air mata menggelimang di pipinya yang agak menghitam. Telapak tangan dan kakinya keringatan. Sakit jantung? Atau ia akan terkapar di pembaringan selama berbulan-bulan? Kemudian ia menutup telinga, menunduk seolah sayatan demi sayatan betul-betul mengubah degub jantungnya.
"Kau kenapa, Malin?" istrinya tak mengerti.
"Dengarkan sayatan itu, istriku! Panggilan itu!"
Angin melerai rambutnya yang kusut dan sedikit pirang. Istrinya memegang daun telinga bermaksud mendengarkan sayatan suara. Tak ada. Tak sedikit pun perempuan yang dicintai mendengar suara-suara. Kemudian perempuan bergelung itu memeluknya dan mengajaknya pulang ke gubuk yang tak jauh dari pantai. Sementara suara-suara di pulau seberang semakin menyayat, seperti peperangan tak kunjung usai, tangisan anak-anak kecil, perempuan-perempuan. Udara terkoyak. Suara-suara itu terus terngiang di telinga Malin. Tubuhnya yang kerempeng semakin menggigil.
"Dengarkan suara sayatan itu, istriku! Dengarkan!"
"Aku tak dapat mendengar, Malin!"
"Apa gendang telingamu telah pecah?"
Diam. Perempuan itu menuang hasil jala bibit udang ke sebuah ember berwarna hitam. Mata merah senja mengedipkan luka. Perempuan itu mengapit Malin pulang ke gubuk, mengusap-usap kepalanya yang panas dingin. Kemudian istrinya segera menuju dapur. Memasak. Namun setiap kali Malin membuka telinganya, sayatan terdengar begitu menyesakkan dadanya ?Leungli! Leungli!" kata-kata itu tiba-tiba menyeruak dari mulut Malin. Kemudian Malin keluar dari gubuknya, ia menatap ke luar jendela.
Lelaki semata wayang itu segera membuntal pakaiannya dengan sebuah sarung kotak-kotak. Ia menggendongnya dan pelan-pelan mendekati istrinya yang sedang berjongkok di dekat tungku di dapur. Ia pamit padanya, agar ia diizinkan berlayar menuju jangkar yang memendarkan sayatan dan panggilan itu "Tapi, tapi, kau
"Dengan keberangkatan ini, kuharap angin tak mendarahkan gelombang?.
?Aku khawatir! Aku khawatir."
"Biarkan aku akan pergi ke kampung Ibu," sembari mengarahkan telunjuknya pada sebuah pulau yang penuh asap melindap ke udara dan terlihat api menyala di tengah malam petang. Kali ini, istrinya dapat melihat pulau penuh asap itu. Namun tiba-tiba ia teringat ayah Malin yang meninggal dalam perang Paderi , ya, ayah Malin Kundang sudah tiada, ia gugur di bawah moncong peluru tentara berseragam hijau itu.
"Tapi? Tapi?" perempuan itu terlihat bingung.
Malin segera keluar dari gubuknya, ia menggendong buntalan sarung dan di tangannya sebuah pisang dan dua buah kelapa muda, ia melangkah pelan ke pantai, melewati bukit pasir pesisir. Ia berdiri tegak seolah-olah ia sedang mengumandangkan kata-kata dalam hatinya--Ah, Sungguh nyeri gelisah semakin basah--Malin menghenyakkan napas.
Ia melecut temali sampan yang menghunjam dalam air, lalu ia membuka layar dan menaikinya. Malin menatap istrinya yang berdiri di atas bukit pasir, gerimis di matanya turun berkelindan "Istriku, aku akan berangkat" tak ada sahut menyayat di udara, hanya deru angin, tatapan sendu memalu hatinya, seolah-olah istrinya berkata padanya "Malin, Sampaikan salamku pada Ibu, bila sudah tiba saatnya, kuharap kau segera pulang. Aku menunggumu".
Pelan-pelan Malin mendayung sampan yang ditumpanginya itu, namun tatapannya tetap terpagut pada istri yang mematung di atas bukit pasir. Dadanya sesak digasak sekian kangen dan kerinduan pada Ibunya, juga istri yang ditinggalkannya. Ia menoleh pada perempuan yang berdiri di atas bukit itu, ia menatap dalam-dalam hingga hilang bayang-bayang sampan. Malin kembali meniup saluang dan bernyanyi di atas sampan :
Angin laut mengantarku pulang
Menemui ibuku tersayang
Kangen menderu ke ambang
Tak dapat dikekang oleh bimbang
Dilantunkan sejauh tenggara, sejauh mata memandang hingga bertemunya langit dan laut di seberang dan solah-olah ikan-ikan mengikutinya dengan riang.
***
DERU perdu terdengar bagai langgam para penyembah matahari. Melingkar. Mata mereka mencorong pada terik dan kedua belah tangan mereka dianjungkan ke atas. Sementara di tengah-tengah lingkaran mereka, seorang perempuan setengah telanjang. Berkutang. Dan kain menutup pahanya yang kuning langsat. Deru perdu itu terus menyayat jantung udara, seolah dendang ritus berdentang menghablur nyawa sunyi.
Malin, lelaki bermata cekung dengan kilatan bulan tsabit di alisnya segera tiba di tempat itu. Ia terpesona pada sekumpulan orang-orang seberang berkeliling bagai menerawang tujuh lapis langit. Ia melihat dari jauh, melihat dari balik pohon
Byaarrr!! Degub jantung Malin mengehentak seketika, sorot matanya tertuju pada perempuan itu, ya, perempuan yang dikelilingi oleh beberapa lelaki. Kutang warna jingga dan kain tipis berwarna kelabu membalut tubuhnya. Sorot mata Malin makin tajam. Dan sesekali ia tercengang melihat perempuan itu.
"Ibu!" menyayat dalam hatinya.
Perempuan yang duduk di tengah lingkaran itu menoleh ke arah Malin, sedang Malin mengintip di balik pohon. Mungkin gelagat Malin diketahui perempuan itu. Ia mencari tahu. Ia keluar dari dalam lingkaran, sedangkan orang-orang yang melanggam itu masih khusyuk. Malin tetap mengintip di balik pohon
"Berhentilah anakku!"
"Kau? Kau?" terhenti.
Saling pandang. Perempuan itu terus mendekat pada lelaki yang pincang itu.
"
Diam. Tatapannya seolah menusukkan anak panah di jantung Malin.
"Kau? Kau?" terhenti lagi. Malin tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Namun perempuan itu terus mendekatinya. Air matanya tumpah ruah di pipinya.
"Kau anakku, Malin."
Malin menggeleng. Ia mundur ketika ibunya mendekatinya, "Kenapa ini bisa terjadi, Ibu? Apakah Ibu sudah tidak sayang, Ayah? Kenapa Ibu tega begini?" tiba-tiba menggeliat di udara.
"Maksudmu Malin?"
"Kenapa kau tega melacur di
"Apa??" perempuan itu menampar Malin. Keras. Malin terpelanting.
"Jaga mulutmu, Malin! Jaga! Ini sesembah pada Sang Hyang."
"Tapi? Tapi pakaianmu, Ibu?"
"Demi bumi, demi langit dan seisinya, demi lautan yang terbentang di depan kita, Ibu tak punya perangai seperti yang kau pikirkan, Malin."Tapi pakaian Ibu?"
Diam. Sunyi. Senyap.
Suatu ketika, Ibu masih ingat -perempuan itu bercerita, ia membelakangi lelaki pincang itu. Sebelum ayahmu berangkat ke medan laga, sebelum ayahmu meninggal, ia mengatakan pada Ibu, jagalah Malin agar Malin selalu berbakti pada orang tua, agar Malin selalu menjadi kebanggaan tanah kelahiran. Tapi nyatanya? Nyatanya kau punya pikiran macam itu pada Ibu. Nyatanya Ibu tak mampu mendidikmu, Malin?perempuan itu menunduk, dari matanya setetes dua tetes air bening mengalir.
Malin mengangguk. Ia tak kuasa menatapnya setelah sumpah serapah lungkrah di udara, setelah ibunya menutur pinutur tentang ayahnya. Malin segera menunduk di depan Ibunya, mencium kakinya sembari berkata "Mohon maaf, anakmu, Ibu! Tapi bila Ibu berbohong, berbohong pada janji ayah, semoga sang Hyang Widhi Yasa menjadikan Ibu batu hitam yang keras di sini, di pantai ini," kutuknya.
Kening perempuan itu berkerut. Ia menatap mata Malin dalam-dalam. Kemudian asap melindap dalam senyap. Aroma kampung asal menyeruap. Bayang-bayang perempuan yang mencintainya, ya, wajah perempuan yang berdiri di atas bukit pasir masih terngiang dalam ingatan Malin. Ia ingin menyampaikan salam rindu darinya, namun Malin masih teringat luka lama yang masih anyer di dada. Ah, ia diam, karena tak ingin menelan sejuta keperihan lain lagi.
***
DUA hari Malin bersama Ibunya. Dan siang itu, seonggok tubuh tiba-tiba membeku, angin ngungun, tiba-tiba langit mendung, Malin kaget, kepalanya mendongak ke atas, menatap ke depan, ke kanan, ke kiri, ke arah laut. Astaga! Apa ini. Deburan ombak menyambang dari depan, angin semakin kencang. Ikan-ikan di laut pada berdatangan menuju pantai, seolah-olah ia melingkupi dua anak manusia yang sedang tercengang di pantai. Ya, kaki perempuan itu mulai mengeras, kaki perempuan itu seperti yang dilem di atas pasir di pantai itu.
"Ibu! Kau kenapa? Katakan! Katakan sejujurnya Ibu! Apa sebenarnya yang terjadi pada Ibu?"
Perempuan itu seperti bengong. Ia mengusap-usap tubuhnya. Air matanya menggelinding di pipinya, meraba-raba kakinya yang mulai mengeras, betis, paha, perut, payudara, leher, telinga, hidung hingga rambut yang merumbai masai. Isak tangis semakin keras. Kedua kakinya seperti dipaku ke bumi, seperti akar menghunjam dan menjalar ke perut bumi. Malin segera memeluk Ibunya.
?Ibu, Ibu, Ibu,? terus mengalir dari mulut Malin. Namun tubuh itu terus membeku. Mengeras, semakin mengeras, tubuh itu terus membatu. Tak ada yang dapat menolong kutuk sumpah serapah, tak ada yang dapat menyelamatkan kecuali dirinya, namun semuanya sudah terlambat, semuanya sudah berjalan bagai jemari api yang meraba daun kering di ladang tebu.
Kini Ibu Malin sudah membeku, sudah mengeras menjadi batu karena kutuk sumpah serapah yang dilanggarnya, karena ia melalaikan janjinya pada kata-katanya sendiri. Mulai saat ini, di pinggir pantai ini, ada sebongkah batu yang murung yang selalu disembah seorang anak lelaki pincang setiap kepulangannya.
***
PAGI-PAGI, lelaki kurus kerempeng ini tiba di pantai, kakinya pincang, tubuhnya lunglai karena berhari-hari tidak tidur, berhari-hari terkapar di tengah lautan, menyeruak dari mulut lelaki itu ?Ibu, sesungguhnya kampungku di kampungmu?, ia segera mencium kaki patung Ibunya yang mengganggang di pinggir pantai itu. Dan seolah-olah sebongkah batu yang berdiam di depan bukit pasir itu berkata pada Malin ?Anakku, jangan bosan-bosan nyambangi Ibu, sungguh kesepian tak tahan digemukkan? gerimis tiba-tiba turun dari kedua mata Malin, ia kembali mencium kaki Ibunya yang sudah menjadi batu.
Malin berbalik arah, menghadap laut luas, menatap bertemunya biru laut dan biru langit, kemudian ia berbalik lagi, menatap tubuh Ibunya dalam-dalam ?Ibu, kaulah asal mula kehidupan, awal mula henyak nyawa yang kejam merajam, awal segala senyum tiram? berteriak keras-keras di pantai. Tangannya mengepal, kemudian lelaki itu telentang di pinggir, telentang di haribaan patung Ibunya itu.
"Aku ingin pulang padamu, Ibu! Aku ingin pulang."
Bermalam-malam dan berhari-hari Malin berdiam di dekat patung Ibunya, terik matahari tak terasa meski melukai tubuhnya, desir angin menggigil menikam detak jantungnya. Tak terasa. Rambutnya kusut pirang tak beraturan. Lupa. Ya, kerinduan pada Ibunya membuatnya gila. Ia tidak makan. Ia tidak minum. Ia duduk termenung. Murung. Ia ingin mati di tempat itu, sebab baginya kematian di haribaan Ibunya adalah inti kepulangan.
Dan sore itu, sebelum ajalnya pergi meninggalkan tubuhnya, hewan-hewan laut pada berdatangan padanya, mengirim kabar laut, bahkan ikan lumba-lumba mengajaknya pergi, ingin mengantarnya kemanapun ia akan pergi, namun Malin memilih tinggal bersama Ibunya "Tapi tolong sampaikan salamku pada perempuanku di pulau seberang," tukas Malin pada lumba-lumba itu "Inilah! Inilah suara sayatan yang amat keras itu, inilah cahaya yang selalu muncul di malam hari itu: cahaya Ibu? ikan lumba-lumba seolah mengangguk pertanda mengiyakan.
Malin menghenyakkan napasnya yang terakhir sore itu, bertepatan dengan masuknya matahari ke ufuk barat, ya, kini Malin Kundang telah pulang ke kampung kelahirannya. ***
COKELAT VALENTINE
Cerpen : Ni Komang Ariani
Sungai Barito sore hari, saat lanting-lanting berserakan di sepanjang sungai. Di sebuah rumah kayu yang berjubel di pinggir sungai. Bau sampah tumpukan enceng gondok,ranting, dahan kayu,dan serta bangkai pelbagai jenis binatang terasa akrab di hidung.Keriuhan yang selalu sama.
Aku tak dapat melihatmu.Tak dapat menyentuhmu. Aku hanya bisa mencium baumu. Mendengar napasmu.Menghitung detak jantungmu.Juga menikmati suara lembutmu. Suara yang memang diciptakan untukku. Suara merdu sekaligus tegas.Suara serak sekaligus ramah.
Tak ada yang pernah memberikan itu selain kamu. Aku memujamu. Memujamu sepenuh jiwaku. Mengapa engkau begitu baik lelakiku? Mengapa engkau datang untuk mendengarkan aku, saat semua orang abai? Apa yang kamu inginkan dari aku. Tubuh inikah, wajah inikah? Cantikkah aku, hingga mau merayu aku untuk mendapatkan tubuh ini? Aku tak percaya, aku telah tumbuh sejak lama.Selamanya laki-laki, bapak-bapak, anakanak hingga nenek-nenek abai padaku.
Tidak ada yang datang untuk mendengarkan aku. Mengapa kau lakukan? Apa maksud tersembunyi di belakang kepalamu. Adakah yang ingin engkau rebut dariku. Apakah itu? Gubuk darurat di sekitar rumah sesak inikah, atau handphone kecil di tanganku? Untuk itukah kau lakukan semua ini?
*** Padamu kulihat mata Ibu.Padamu kudengar suara Ibu. Bahkan tangantangan Ibu pun kau miliki. Siapakah engkau sesungguhnya? Matamu yang tak bergerak memberi nuansa teduh. Tak ada mata yang memerah atau membesar karena marah, seperti mata Ibu. Siapakah engkau perempuan sebatang kara? Mengapa engkau sendirian dalam rumah sesak ini. Ah, aku tidak peduli.
Keberadaanmu di rumah sesak ini membuatku bisa pulang. Kepadamu, aku sungguh merasa pulang.Kau rumah kecil yang hangat perempuanku. Aku tidak ingin pergi jauh-jauh dari rumah. Aku ingin pergi dan pulang ke rumah.Tetapi mengapa engkau selalu mempertanyakanku, mencurigai kedatanganku? Rugikah engkau bila aku datang karena aku menikmati rumah kecilmu yang hangat? Jangan perempuanku, aku tak dapat hidup tanpanya.Aku tak bisa meneruskan hidup tanpanya.Tidak bisa meneruskan detak di jantungku juga embus di napasku.
***
“Katakan sesungguhnya dari mana asalmu?”
“Aku ingin dilahirkan di negeri di mana semua mata seperti matamu!”
“Kau hendak menghinaku?”
“Tidak, sama sekali. Matamu adalah mata Ibu. Dunia amat indah bila semua orang memiliki mata ibu. Aku ingin berenang-renang dalam lautan mata Ibu yang menatapku!”
“Aku tak punya Ibu, juga tak punya Ayah. Aku lahir dari segumpal awan hitam, untuk tinggal di segumpal awan hitam lainnya.”
“Aku hanya ingin pulang, aku hanya ingin kepadamu!”
“Seriuslah sedikit. Kau bisa melihatku, bisa kau ceritakan bagaimana aku!”
“Kau perempuan cokelat dengan dua tangan. Alis tebal dan rambut panjang. Suaramu seindah embun, sentuhanmu selembut angin semilir. Kau adalah Ibu. Kau adalah pulang!”
“Kau menganggapku laksana Ibu?”
“Ya, aku ingin memelukmu, ingin memilikimu selamanya. Aku ingin memiliki pulang.”
“Kau telah punya rumah dan punya pergi.Kau bisa pulang kapan saja!”
“Aku memang punya rumah dan punya pergi, tapi aku tidak bisa pulang. Bolehkah aku mempunyai pulang darimu. Bolehkah aku membagi pulangmu!”
“Aku tak pernah punya pergi, jadi juga tak pernah punya pulang. Bagaimana membaginya denganmu. Aku hanya punya cerita kelam. Maukah kau berbagi cerita kelamku?”
“Cerita kelam apakah itu, ceritakanlah padaku, setelah itu hadiahi aku dengan pulang. Berjanjilah kau terima pemberian setimpal ini. Anugerahkanlah aku pelukan, dan kehangatan pulang sepanjang hidupku. Karena aku hanya perlu pulang.”
“Baiklah, bila itu yang kau inginkan.”
***
Namaku Val, lengkapnya Valentine. Nama yang amat indah untuk dua orang yang memadu kasih di sebuah taman cinta. Sepasang kekasih yang berjanji sehidup semati. Sepasang kekasih yang lari dari kemewahan kedua orangtua, demi cinta sejati. Barangkali mereka pengagum kisah cinta Romeo-Juliet, Sampek-Engtay, Jayaprana-Layonsari yang rela mengorbankan apa pun demi cinta sejati mereka.
Perpaduan kasih mereka melahirkan buah hati. Buah cinta yang diharapkan menyempurnakan ikrar bersama. Namun kelahiranku menjadi petaka. Ayah ibuku adalah sepasang pangeran dan putri. Ayah adalah laki-laki tampan, gagah dan rupawan.Ibu adalah perempuan jelita, dengan keindahan tiada dua.Keduanya berkulit putih bening, laksana titisan para raja zaman dulu.
Dari rahim perempuan rupawan itu, lahirlah aku. Perempuan cokelat dengan dua tangan, juga bermata buta ini. Kutuk dari manakah itu? Kemarahan pun meledak. Ayah sungguh kecewa dan menuduh perselingkuhan. Sementara ibu memandangku dengan tak rela. Tak sudi ia, rahimnya dilewati bayi jelata sepertiku. Lalu apa yang dapat kulakukan. Bagaimana aku tahu dari buah percintaan dua lain jenis yang tak berselingkuh itu lahir aku. Bagaimana aku bisa paham. Mungkin saja, nenek moyang kedua orangtuaku, entah garis ke berapa menyelipkan seorang perempuan cokelat sepertiku, yang suatu ketika muncul. Sungguh aku tidak tahu.
Aku telah terlahirkan dari sepasang yang tak berselingkuh itu.Kemarahan Ayah seperti gayung bersambut dengan ketidaksudian ibu. Mereka akhirnya bersepakat pada sesuatu yang amat aneh.Mereka bersepakat menganggap aku sebagai kecelakaan yang harus dilupakan. Aku akan dilupakan dan dianggap tak pernah terjadi. Mereka akan memulai hari baru, dengan memotong kehadiranku dari hidup mereka.
Mereka menghitung hari kapan percintaan dilakukan, dan terbangun hari itu sebagai hari yang sungguh-sungguh baru. Namaku pun telah diganti.Tak lagi Valentine. Tapi menjadi cokelat. Namun, ditulis dengan Chocolate. Sesuatu yang nikmat untuk dimakan. Aku boleh dipanggil Choco. Seorang tukang kebun dibeli untuk menjadi induk semangku. Disuruhnya aku dibawa jauh ke negeri seberang, di mana napas dan bau tak mungkin bertemu. Setelah beberapa bulan aku dilupakan.
Si tukang kebun hidup sebagai orang baru. Saat usiaku sepuluh tahun, si tukang kebun tenggelam terseret arus. Istrinya menyusul enam bulan kemudian, demam berdarah merenggutnya setelahsepekan didera panas dingin. Tertinggallah aku di gubuk ini, yang kian lama kian berdesakan, dengan keahlian hanya menganyam topi.
“Sudah…?”
“Aku pikir sudah.!”
“Kau masih ingat bukan dengan janjimu?”
“Kau masih inginkan itu?”
“Tentu saja. Tentu kau tepati bukan?”
“Apakah kau pun lahir dari cerita kelam, hingga menuntut pulang dariku!”
“Kau selalu bercuriga. Apakah cerita kelamku akan membuatmu berubah pikiran, tak lagi menepati janji?”
“Aku tidak habis mengerti, mengapa kau menginginkan perempuan cokelat ini? Aku hanya cokelat. Chocolate!”
“Apakah pikiranmu tak jauh dari cokelat dan putih. Mengapa putih bagimu selalu lebih baik dari cokelat. Tidakkah kau tahu seperti namamu, cokelat amat nikmat untuk dimakan. Amat lezat untuk dinikmati!”
“Aku tidak percaya padamu!”
“Kau boleh saja tidak percaya, tapi kau tepati janjimu kan ?”
“Setelah kau ceritakan cerita kelammu!”
“Setelah itu kau akan berubah pikiran?”
“Aku akan menepati janji jika masih kau inginkan!”
“Aku boleh pulang kepadamu, Valentine,kepadamu Chocolate?”
“Tentu saja!”
***
Cerita Laki-laki Penguping
Cerpen: Isbedy Stiawan ZS
DI kompleks perumahan type 21 banyak hal bisa terjadi dan selalu berbau rakyat jelata. Berbeda dengan perumahan elite yang terkadang antartetangga tak saling kenal dan tak salingsapa, di perumahan type 21 sesama tetangga saling kenal dan kerap bersenda-gerau. Selain itu, sepertinya rahasia paling rahasia dalam satu rumah keluarga, tetangga lain cepat sekali mengetahuinya. Entah caranya bagaimana kabar yang terjadi dalam suatu rumah tangga bisa begitu cepat menyebar. Ibaratnya jarum jatuh di dalam rumah, tetangga paling ujung jalan akan tahu beritanya. Apatah lagi perabot rumah tangga ataupun lemari yang hancur karena suami-istri bertikai.
Sebagai warga di perumahan type 21 harus pandai-pandai menjaga perasaan. Kalau Anda gampang murah atau punya sifat dengki, jangan berangan-angan hendak menetap di sini. Sebab akan sakit sendiri dan mati! Bagaimana tidak, kalau sebentar-sebentar berang pada tetangga lantaran tetangga sebelah atau depan atau tetangga yang berada dapur menyetel radio, tape, maupun televisi dengan suara amat keras. Belum lagi jika kita bertetangga dengan ibu-ibu yang doyan berkaraoke dangdut.
Mau marah, lalu bilang: "Memangnya dunia ini milik anda, coba kecilkan suaranya. Saya pening, lagi skait gigi.."?
Kalau tetangganya tahu diri, ia akan memaklumi dan minta maaf sambil mengecilkan-bagus langsung mematikan-radio atau televisi dan berhenti berkaraoke. Tetapi, jika sebaliknya volumennya makin dikeraskan: a;amat bertikai terjadi. Belum lagi kalau dengki melihat tetangga yang membeli kulkas, motor, mobil, dan seterusnya. Timbul iri: "Ah, paling-paling dari hasil korupsi."
Untunglang saya punya istri yang tidak suka keluar rumah mengobrol dengan tetangga. Istriku tak biasa ngerumpi, bahkan di tempat kerjanya pun ia tak suka berkongkow-kongkow. Maka begitu pulang kerja, ia akan memberesi rumah sebelum ia istirahat siang. Tetapi, istriku akan menjadi orang pertama yang berkunjung ke tetangga jika ia mendengar ada tetangga yang meninggal, sakit, maupun melahirkan. Itulah yang saya sukai, sekaligus membuat saya makin mencintainya. Sehingga hampir 20 tahun menempati rumah type 21 yang belum juga saya renovasi, kami belum pernah berselisih dengan tetangga.
Saya tak pernah mengusik tetangga, tapi akan saya beli jika ada tetangga yang menjual masalah dengan saya. Itu prinsif hidup saya berkerabat. Akan tetapi, kalau ada kesempatan untuk mengalah, lebih saya pilih berdamai saja. "Tak ada untungnya berselisih dengan tetangga. Memangnya kita hidup di hutan yang tidak memerlukan bantuan atau menolong," ujar saya pada istri sebelum kami memutuskan mengambil rumah di kompleks perumahan ini.
Istri saya memaklumi. Karena itu ia sudah siap bertetangga. Saya juga memberi bayangan bagaimana hidup di komp;eks perumahan, seperti juga mereka yang hidup di rumah susun. Kalau mau hidup nyaman, ya tingga di kawasan atau perumahan elite. "Cuma jangan terlalu berharap tetangga akan membantu, kalau kita mendapatkan kesulitan. Bisa-bisa ketika rumah kita disatroni permapok, tetangga sebelah pun tak tahu sama sekali."
Istri saya makin maklum. Seperti juga ia memaklumi tatkala tersebar gunjing bahwa keluarga saya dinilai tak bisa bertetangga. "Ibu Is itu kan tak mau bergaul dnegan kita karena dia orang kantoran. Kita dianggap tidak level. Mentang-mentang.."
"Ah, Ibu Is itu kan takut sama suami. Itu lo, katanya sih, Pak Is itu galak dan ringan tangan," timpal ibu yang lain.
"Bukan cuma itu," imbuh ibu lainnya. "Itu lo, Pak Is pencemburu, tak suka istrinya keluar rumah.."
"Memangnya kita-kita ini perempuan-perempuan genit. Bu Is itu yang.." Seorang ibu hendak menambahkan, tapi urung ia teruskan kalimat akhir tersebut.
Gunjingan itu saya tahu dari Masturi. Siapa Masturi? Inilah yang akan saya ceritakan kemudian..
MASTURI, suami Lasmi, tetangga yang menempati rumah di ujung Jalan Begal. Ia tak punya pekerjaan tetap, meski ia lulusan universitas negeri. Hidup sehari-seharinya bersama istri dan satu anaknya masih disubsidi oleh orang tua istrinya. Masturi lebih dikenal sebagai "Laki-laki Penguping" tinimbang namanya sendiri. Tidak sedikit dari kami justru tidak mengenal namanya, karena sudah terbiasa dengan julukannya itu.
Kenapa ia disapa dengan Laki-laki Penguping? Ceritnya, sebenarnya panjang, hanya intinya karena ia bisa menguping para istri saat mengobrol (tepatnya: ngerumpi) persis di dekat rumahnya. Ia tahu persis tanpa sedikitpun ia lupakan apa yang dikatakan para ibu rumah tangga di perumahan type 21. Masturi kemudian, awalnya, cuma untuk menghidupkan suasana saat kami-para suami-bergadang pada malam Minggu, atau sedang menyaksikan pertandingan bolasepak pada Piala Dunia, maupun sekedar bertemu usai rapat perkumpulan sukaduka tiga bulan sekali.
Saat itulah Masturi menceritakan tentang apa yang dicakapkan para ibu rumah tangga. Misalnya, dari soal apa yang dimasak pada hari itu, makan kesukaan suami masing-masing, atau sedang kesal pada suami disebabkan suaminya melirik dan memuji kecantikan perempuan. Sampai masalah ukuran serta warna BH dan celana dalam yang dipakai. "Ibu RT pernah cerita kalau suaminya justru menyukai buah dadanya yang besar," kata Masturi sambil tertawa, dan diikuti oleh yang lain.
Masturi akan semakin asyik bercerita apabila disuguhi minuman alkohol. Cerita hasil menguping para istri itu akan makin seru, sehingga kami yang mendengar terbahak dan terpingkal-pingkal. Ibram, tetangga sebelah saya, yang juga tengah mabuk berat paling besar tertawanya, sampai-sampai matanya basah. Sepertinya aroma alkohol membuat Masturi kian "cerdas" mengumpulkan bahan lucu yang didapatnya saat mendengarkan para perempuan di perumahan berkumpul.
Ketika ditanya bagaimana cara ia menguping para perumpi, tanpa sungkan Masturi menjelaskan. Katanya, ia pura-pura mencuci piring di dekat garasi rumahnya yang tak memiliki mobil itu. Dari tempat itu ia jelas sekali mendengar percakapan para ibu rumah tangga tersebut. Kalau tak pura-pura sedang mencuci piring, sambil menyiram bunga ataupun membersihkan halaman rumah.
"Ibu memangnya tidak curiga, pak Masturi?" tanya Ibram masih terkekeh.
Ia menggeleng. "Perempuan dilahirkan untuk dibohongi laki-laki, dan istri ditakdirkan mudah dikibuli suami. Makanya suami lebih sering berselingkuh tapi tak pernah ketahuan dibanding istri karena laki-laki amat licik," jawab Masturi dan kelopaknya matanya terpejam-pejam. Kami pun yang mendengar tertawa.
Masturi juga terkenal pandai melucu. Meski bahan lawakannya itu ia dapatkan dari menguping para ibu rumah tangga. Karena itu, jangan tersinggung apalagi emosi, kalau kami yang mendengar ceritanya kerap juga dijadikan bahan tertawaannya.
Karena itu pula, tak urung Masturi kami gelari sebagai laki-laki penguping. Dan, ia tak pernah tersinggung. Bahkan, gelar itu dengan bangga ia sematkan di antara namanya: Masturi Laki-laki Penguping yang disingkat jadi Masturi LP. Dari kebiasaan mencuri percakapan para istri itu, kemudian ia jadikan pencarian tak resmi untuk membeli rokok. Soalnya Masturi selalu kami butuhkan untuk menghidupkan suasana mengobrol saat begadang. Ia juga tanpa sungkan meminta rokok atau uang, jika kami hendak mendengar ceritanya.
"Mau bayar berapa, kali ini ceritanya lebih seru.." tantang Masturi.
"Apa dulu cerita yang kau dapat dari para istri itu? Jangan mengulang kisah yang sudah kami dengar.." ujar Ibram bersemangat. "Kalau seru aku siap memberimu sebungkus rokok Djoi Sam Soe, dan sebotol anggur!"
"Pasti baru dan seru!" potong Masturi. "Dua bungkus rokok bagaimana?
"Oke, sebungkusnya saya yang kasih!" kata pak Marwanto. "Dasar penjual cerita!"
"Lo, pengarang cerita di koran-koran saja dapat honor kalau tulisannya dimuat. Iya kan pak Is?" Masturi tak mau kalah sembari meminta pembenaran dariku. Aku hanya mengangguk.
Dari pekerjaan menceritakan apa yang didengar dari percakapan para ibu rumah tangga itu, Masturi tak lagi pening memikirkan untuk membeli rokok dan menikmati minuman alkohol. Ia cukup menyambangi para suami yang sedang mengobrol di depan rumah setiap malam Minggu atau seusai pertemuan anggota sukaduka yang biasa dilanjutkan kongkow hingga larut malam. Pada saat itulah Masturi muncul. Kalau tidak, ada yang diutus untuk menjemputnya.
Memang Masturi tak pernah berbohong. Ibarat pedagang ia akan selalu memuaskan pembeli. Baginya, seperti juga para pedagang bahwa pembeli adalah raja yang mesti dilayani dan dipuaskan. Maka tak pernah cerita yang dibawanya telah ia jual sebelumnya. Selalu ada yang baru dan selalu seru.
Tetapi, lama-lama kami curiga. Masturi sebenarnya memunyai kepadandaian bercerita, dan apa yang dia ceritakan kepada kami itu bukan seluruhnya ia peroleh hasil mencuri percakapan para istri di perumahan kami. Alasan kecurigaan kami, disebabkan tidak setiap para ibu rumah tangga bertemu akan bercerita seperti apa yang diungkapkan Masturi pada kami. Pasti ada juga yang positif, tentang kreativitas masing-masing ibu itu. Bukankah para istri itu tak semuanya hanya ibu rumah tangga? Ada yang bekerja di isntansi pemerintah dan swasta.
"Ini bukan karanganku, sungguh aku mendengar dengan kupingku. Jelas sekali.."
"Jadi, Ibu Minul itu sering dibawa bosnya jalan-jalan dan makan siang?" tanya Marwanto penasaran.
"Ya. Itu yang kudengar langsung dari mulut Ibu Minul. Ia malah bangga saat menceritakannya."
"Kalau cuma makan tempe terus di rumah mana enak, sekali-sekali ya ganti makan daging di luar," kata Minul seperti diceritakan Masturi lalu terkekeh. "Sekali jalan dapat ini.." kata Minul sambil menggosok-gosok jari jempol dan tengahnya.
Minul juga bercerita, demikian Masturi, tetap memberi kehangatan pada suaminya. Sehingga ia tak pernah dicurigai bermain belakang. "Artinya, perempuan juga pandai berbohong kan ?" pungkas Masturi sambil tertawa.
"Ah, Maman saja yang bodoh! Kok tak pernah bisa mencium kebusukan istri sendiri?" timpal Ibram.
Lalu kami terkekeh. Diam-diam Marwanto ingin sekali mencari kebenaran ceriota Masturi tentang Minul. Siapa tahu benar, siapa tahu bisa memergoki Minul sewaktu jalan bersama bosnya. "Siapa tahu bisa dimanfaatkan hahaha."
"Benar juga." hampir bersamaan kami bersuara.
KETIKA kami merindukan cerita-cerita Masturi soal ibu-ibu di perumahan ini, tukang cerita itu tak mau lagi dipanggil. Laki-laki penguping itu sudah jarang ke luar malam. Kalau pun bisa keluar dan berkumpul, ceritanya sudah basi karena sudah pernah diceritakan sebelumnya. Akhirnya kami malas menanggapnya. Kami juga tak lagi sokongan membeli rokok untuknya.
Entah kenapa tiba-tiba si penguping itu kehabisan bahan cerita. Padahal, ibu-ibu masih sering berkumpul setiap jelang maghrib di dekat rumah Masturi. Pastilah Masturi bisa mencuri percakapan para ibu, seperti para setan sebagaimana hadis Nabi kerap mencuri rahasia langit yang lalu dibawa dan diberikan kepada para dukun dan orang-orang pintar.
Suatu malam, Masturi muncul. Wajahnya tak lagi seceriah seperti biasanya. Kami menunggu ia bercerita, tapi Masturi hanya diam. Kami sudah coba memancing dengan meletakkan beberapa botol anggur di meja, ia tak juga menyentuh. Ibram menawarkan rokok, Marwanto sudah membelikan bebera bungkus rokok lalu digeletakkan di meja. Masturi tak juga mengambil, bahkan sebatang pun.
"Ada cerita lucu yang baru?" saya yang tak tahan menunggu bertanya.
Masturi menggeleng.
"Wah, kalau koran tidak ada berita. Apa yang bisa dibeli?"
"Aku bukan koran."
"Tapi masih punya stock cerita, kan ?" kejar Ibram.
"Juga tak ada. Sudah habis!"
"Lo, memangnya ibu-ibu tak lagi ngerumpi?"
"Masih."
"Memangnya tak ada yang menarik, seru, dan lucu?"
"Sudah tak ada lagi," jawab Masturi ringan. "Sepertinya para ibu itu sudah tahu kalau ada yang mencuri percakapan mereka. Bahkan, setuap ibu-ibu itu bertemu, percakapan hanya satu tema.."
"Apa itu?" Marwanto penasaran.
"Para ibu itu membicarakan aku," jawab Masturi pelan. Mendesah. "Kata para ibu, orang yang mencuri percakapan orang lalu diceritakan kembali kepada orang lain apalagi untuk mencari keuntungan, sama seperti memakan bangkai hewan!"
Kini giliran kami yang menertawakan Masturi. Ia seperti hewan bahkan lebih rendah lagi: binatang yang sudah mati. Di hadapan kami.***
Lampung, 22-26 Oktober 2006
Langganan:
Postingan (Atom)